UPACARA DAUR
HIDUP DAN PERALATANNYA
“MASA
MELAHIRKAN (MONGANAK)”

Sudah menjadi
kondratnya seorang wanita
harus melalui suatu
perjuangan antara hidup
dan mati untuk
melahirkan anak yang
dikandungnya. Sewajarnyalah
kalau melewati masa
krisis dalam melahirkan
anak itu dengan suka cita oleh segenap kerabat dan keluarga dengan
berbagai perbuatan dan tingkah laku tertentu yang telah menjadi tradisi dan
adat istiadat secara turun temurun. Masyarakat suku saluan yang telah memeluk
Agama Islam sekitar empat abad yang lalu, telah banyak mewarnai corak kehidupan
sesuai budayanya dengan warna sesuai dengan Agama islam, walaupun pengaruh
budaya nenek moyang dan leluhurnya tetap melekat dalam hati sanubarinya.

Demikian
halnya dengan peristiwa kelahiran seorang bayi, maka yang pertama kali
diperdengarkan adalah bisikan Adzan pada telinga kanan dan qamat pada telinga
kiri. Meskipun saat kelahiran merupakan waktu yang tidak dapat ditentukan
dengan tepat, namun kelahiran yang menimbulkan reaksi spontan yang menyibukkan
para kerabatnya untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan upacara yang telah
menjadi tradisi adat mereka, seperti menangani Tobuni atau Plasenta.
Membenahi
dan memperlakukan plasenta pada masyarakat Saluan memiliki cara dan perlakuan
tersendiri. Memotong plasenta atau
Tobuni biasanya digunakan emban (sembilu) yang telah digosok dengan kunyit, dan
sebagai telanan digunakan uang logam (benggol). Tobuni yang telah terpisah
dengan bayi, segera dimasukkan kedalam buah kelapa pada bagian tangkainya,
untuk dijadikan tutup. Tobuni bersama garam dimasukkan kedalam kelapa muda lalu
ditutup dengan rapat dan mengelemnya dengan damar, kemudian dibungkus dengan
kain putih dan diletakkan diatas sebuah dulang. Untuk bayi laki-laki biasanya
digunakan kelapa merah sedangkan untuk bayi wanita digunakan kelapa putih.
Tobuni
yang telah terbungkus dengan kain putih segera akan ditanam disekitar rumah
dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu, seperti :

v Dalam
lubang galian tidak boleh ada semut atau cacing maupun hewan tanah lainnya, karena
hewan-hewan ini dapat menggangu bayi, sebab tobuni dianggap sebagai kembar dari
sang bayi yang masih dapat merasakan apa yang dirasakan oleh tobuni, dirasakan
pula oleh bayi.
v Dalam
lubang galian tidak boleh lebih dari panjangnya pahang (tangkai kelapa), karena
tangkai inilah yang menjadi tanda diatas tobuni yang akan diikat bersama-sama
dengan emban dan ditanaki dengan pelumba (cocor bebek).
v Letak
lubang galian untuk menanam tobuni tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat
dengan rumah. Ada sebagai masyarakat Saluan yang tidak mensyaratkan tata letak
tempat menanam tobuni. Namun sebagian mensyaratkan lubang galian itu tidak
sampai terkena bayangan rumah huniannya.

Mengatur tobuni yang
telah siap seperti yang diuraikan diatas, dibawa oleh seorang anak perempuan
berumur sekitar 10 hingga 12 tahun., dengan mengangkatnya bersama dengan dulang
dimuka dadanya, kemudian menutupinya dengan sarung bersama sama dengan
kepalanya. Sepanjang perjalanan membawa tobuni tersebut, tidak diperkenankan
berbicara sepatah katapun, karena dapat mengakibatkan pula bayi akan selalu
menangis.
Pada malam hari, diatas
tobuni yang ditanam dinyalakan pantutu yaitu lampu yang minyaknya dari damar
selama 7 hingga 40 malam atau sampai upacara Mosawe Tojang selesai.

Sama seperti bayi yang
baru lahir, ibu yang baru melahirkan dianggap memiliki kondisi kesehatan
jasmani dna rohani yang sangat rendah. Sehingga keduanya harus diberi
perlindungan yang sangat ketat, mengikuti pula pantangan-pantangan yang telah
ditentukan. Perlindungan yang biasa dilakukan ialah terhadap Bisuko yaitu
jelmaan roh jahat yang merasuki tubuh orang tertentu maupun hewan tertentu.
Pada malam hari dinyalakan api disekitar rumah, demikian pula kolong rumah
dibawah tempat tidur bayi dan ibunya diberi dinding Bombong (anyaman daun
kelapa) sedangkan tempat tidur bayi dan ibunya dibuatkan bale-bale dari bambu,
yang bagian bawahnya diganjal dengan anunang, yaitu sejenis kayu yang dianggap
memiliki kekuatan yang dapat mengusir roh-roh jahat. Didekat tempat tidur
bale-bale ditempatkan pula poluk ( dapur kecil ) yang digunakan untuk
menyalahkan api pemanas batu tolukun yang dipakai untuk ponontol ( diurutkan
kepermukaan perut), yang sebelumnya dibungkus daun tinggolon, dengan maksud
supaya sisa darah dalam perut cepat menjadi bersih
Upaya-upaya yang
dilakukan sehubungan dengan kelahiran seorang bayi diantara keluarga itu,
kesemuanya memperlihatkan makna yang luas tentang perlindungan yang diberikan
kepada bayi dan ibunya dari berbagai hal dan keadaan yang dapat menggangu
ketentraman hidup bayi yang masih sangat lemah ini
DAFTAR PUSTAKA
1995/1996,
Upacara Daur Hidup Suku Saluan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian
Proyek pembinaan permeseuman, Sulawesi tengah