Kamis, 29 Oktober 2015

UPACARA DAUR HIDUP SUKU SALUAN (MASA MELAHIRKAN / MONGANAK)

UPACARA  DAUR  HIDUP  DAN  PERALATANNYA
“MASA MELAHIRKAN (MONGANAK)”


            Sudah  menjadi  kondratnya  seorang  wanita  harus  melalui  suatu  perjuangan  antara  hidup  dan  mati  untuk  melahirkan  anak  yang  dikandungnya. Sewajarnyalah  kalau  melewati  masa  krisis  dalam  melahirkan  anak itu dengan suka cita oleh segenap kerabat dan keluarga dengan berbagai perbuatan dan tingkah laku tertentu yang telah menjadi tradisi dan adat istiadat secara turun temurun. Masyarakat suku saluan yang telah memeluk Agama Islam sekitar empat abad yang lalu, telah banyak mewarnai corak kehidupan sesuai budayanya dengan warna sesuai dengan Agama islam, walaupun pengaruh budaya nenek moyang dan leluhurnya tetap melekat dalam hati sanubarinya.

            Demikian halnya dengan peristiwa kelahiran seorang bayi, maka yang pertama kali diperdengarkan adalah bisikan Adzan pada telinga kanan dan qamat pada telinga kiri. Meskipun saat kelahiran merupakan waktu yang tidak dapat ditentukan dengan tepat, namun kelahiran yang menimbulkan reaksi spontan yang menyibukkan para kerabatnya untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan upacara yang telah menjadi tradisi adat mereka, seperti menangani Tobuni atau Plasenta.
            Membenahi dan memperlakukan plasenta pada masyarakat Saluan memiliki cara dan perlakuan tersendiri. Memotong plasenta  atau Tobuni biasanya digunakan emban (sembilu) yang telah digosok dengan kunyit, dan sebagai telanan digunakan uang logam (benggol). Tobuni yang telah terpisah dengan bayi, segera dimasukkan kedalam buah kelapa pada bagian tangkainya, untuk dijadikan tutup. Tobuni bersama garam dimasukkan kedalam kelapa muda lalu ditutup dengan rapat dan mengelemnya dengan damar, kemudian dibungkus dengan kain putih dan diletakkan diatas sebuah dulang. Untuk bayi laki-laki biasanya digunakan kelapa merah sedangkan untuk bayi wanita digunakan kelapa putih.
            Tobuni yang telah terbungkus dengan kain putih segera akan ditanam disekitar rumah dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu, seperti :

v  Dalam lubang galian tidak boleh ada semut atau cacing maupun hewan tanah lainnya, karena hewan-hewan ini dapat menggangu bayi, sebab tobuni dianggap sebagai kembar dari sang bayi yang masih dapat merasakan apa yang dirasakan oleh tobuni, dirasakan pula oleh bayi.
v  Dalam lubang galian tidak boleh lebih dari panjangnya pahang (tangkai kelapa), karena tangkai inilah yang menjadi tanda diatas tobuni yang akan diikat bersama-sama dengan emban dan ditanaki dengan pelumba (cocor bebek).
v  Letak lubang galian untuk menanam tobuni tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan rumah. Ada sebagai masyarakat Saluan yang tidak mensyaratkan tata letak tempat menanam tobuni. Namun sebagian mensyaratkan lubang galian itu tidak sampai terkena bayangan rumah huniannya.


Mengatur tobuni yang telah siap seperti yang diuraikan diatas, dibawa oleh seorang anak perempuan berumur sekitar 10 hingga 12 tahun., dengan mengangkatnya bersama dengan dulang dimuka dadanya, kemudian menutupinya dengan sarung bersama sama dengan kepalanya. Sepanjang perjalanan membawa tobuni tersebut, tidak diperkenankan berbicara sepatah katapun, karena dapat mengakibatkan pula bayi akan selalu menangis.
Pada malam hari, diatas tobuni yang ditanam dinyalakan pantutu yaitu lampu yang minyaknya dari damar selama 7 hingga 40 malam atau sampai upacara Mosawe Tojang selesai.

Sama seperti bayi yang baru lahir, ibu yang baru melahirkan dianggap memiliki kondisi kesehatan jasmani dna rohani yang sangat rendah. Sehingga keduanya harus diberi perlindungan yang sangat ketat, mengikuti pula pantangan-pantangan yang telah ditentukan. Perlindungan yang biasa dilakukan ialah terhadap Bisuko yaitu jelmaan roh jahat yang merasuki tubuh orang tertentu maupun hewan tertentu. Pada malam hari dinyalakan api disekitar rumah, demikian pula kolong rumah dibawah tempat tidur bayi dan ibunya diberi dinding Bombong (anyaman daun kelapa) sedangkan tempat tidur bayi dan ibunya dibuatkan bale-bale dari bambu, yang bagian bawahnya diganjal dengan anunang, yaitu sejenis kayu yang dianggap memiliki kekuatan yang dapat mengusir roh-roh jahat. Didekat tempat tidur bale-bale ditempatkan pula poluk ( dapur kecil ) yang digunakan untuk menyalahkan api pemanas batu tolukun yang dipakai untuk ponontol ( diurutkan kepermukaan perut), yang sebelumnya dibungkus daun tinggolon, dengan maksud supaya sisa darah dalam perut cepat menjadi bersih
Upaya-upaya yang dilakukan sehubungan dengan kelahiran seorang bayi diantara keluarga itu, kesemuanya memperlihatkan makna yang luas tentang perlindungan yang diberikan kepada bayi dan ibunya dari berbagai hal dan keadaan yang dapat menggangu ketentraman hidup bayi yang masih sangat lemah ini



DAFTAR  PUSTAKA

1995/1996, Upacara Daur Hidup Suku Saluan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek pembinaan permeseuman, Sulawesi tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar